Langsung ke konten utama

PANDEMI DAN TRADISI


Kami hidup sebagai pendatang di sebuah kampung di Sleman antara jalan Kaliurang dan jalan Tentara Pelajar. Sebagaimana di banyak tempat lain, mungkin kecuali di perumahan, ada adat yang harus kami jaga bersama. Saat baru pindahan, kami selenggarakan kenduri yang diisi dengan doa tahlil dan perkenalan dengan warga sekitar. Pak Dukuh menyampikan selamat datang dan meminta kami para pendatang untuk mengikuti tradisi dan kebiasaan yang berjalan di wilayah itu. Tentu saja, di mana bumi dipinjak di situ langit dijunjung, karena para pendatang berasal dari berbagai daerah bahkan dari luar Jawa. Umumnya pendatang bersedia menyesuaikan diri. 

Dalam hal ritual berbagai selametan, ruwahan, merti desa, memang hanya sedikit pendatang  yang bisa aktif, karena berbagai alasan. Buat saya sendiri, ada hal yang sangat mengesankan sejak awal datang hingga kini, yaitu kidung atau singiran (melantunkan syair dalam tembang) diorkestrasi dengan tahlilan dalam langgam jawa, pada dua kesempatan; saat ruwahan (mendoakan para arwah leluhur) yang dilaksanakan menjelang puasa Ramadhan dan setiap selamatan 1000 hari orang meninggal. Apalagi Bapak yang melantunkan vokalnya sangat merdu, membuat pikiran saya membayangkan Jawa abad 15, meresapi bagaimana syair itu menjadi bagian dari tradisi. Tapi dalam urusan sosial seperti kerja bakti, ronda, macam-macam serkiler (iuran sumbangan untuk berbagai keperluan sosial), para pendatang sangat aktif, bahkan dalam beberapa segi cukup menonjol. 

Kebersamaan dalam berbagai kegiatan sosial terutama telah memperkuat persatuan, sehingga jalan yang membelah kampung kami dinamakan ‘Jalan Kesatuan’ yang dibangun secara gotong royong oleh semua warga laki-laki perepuan, tua muda selama kurun waktu berbulan-bulan, sejak memecah dan menata batu dengan teknik konstruksi mac adam. 

Sekitar tahun 2007 ada keluarga yang mengontrak rumah di lingkungan RT kami meninggal karena sakit. Beberapa warga mengusulkan agar jenazah diantar ke daerah asal, mengingat tanah makam juga terbatas. Namun karena berbagai pertimbangan terutama dari istri, dan pertimbangan dari para kesepuhan, bahwa almarhum rajin kerja bakti dan aktif ronda,  atas nama kemanusiaan jenazah dimakamkan di makam kampung. Untuk pelaksanaan kenduri sampai 7 hari, warga yang mampu mengirim berbagai keperluan dan makanan. Demikian pula setiap idul adha, pembagian daging merata untuk semua warga tidak membeda-bedakan agama apa yang dianut. Kebersamaan yang mengesankan.

Di antara warga baru dan lama memang tetap ada perbedaan, terutama dalam gaya hidup, pola pikir dan pengelolaan waktu sehari-hari. Tentu saja ada perbedaan riwayat pendidikan, latar budaya yang telah membentuk sebelumnya dan lingkup pergaulan, sehingga ada kalanya ‘terjadi ketidaksepakatan’, atau hal-hal membuat kurang kompak antara warga baru dan warga lama. Ya karena sesungguhnya tidak mungkin ada pemaksaan kehendak oleh salah satu pihak. Demikian pula dalam menanggapi pandemi panjang ini perbedaan cara berfikir sangat terasa.  

Kemarin malam, salah satu warga yang termasuk warga baru meninggal dunia. Karena pemakaman harus menggunakan protokol kesehatan, jenazah harus segera dimakam malam itu. Dalam tradisi, bila warga RT kami ada yang meningal maka warga kampung sebelah yang menggalikan lubang kubur dan mereka juga mengumpulkan beras atau uang untuk membantu pelaksanaan kenduri. Sebaliknya bila yang meninggal kampung sebelah, warga kampung kami yang bertugas menggali liang kubur dan mengumpulkan sumbangan. Adanya kematian yang berturut-turut bahkan sempat sehari dua kali, saya membayangkan mereka yang menggali kubur dan ibu-ibu yang mengumpulkan sumbangan dari rumah ke rumah serta keluarga-keluarga yang secara ekonomi pas-pasan yang tentu tidak enak hati bila tidak memberi meski tidak diminta. Mungkin semangat yang sangat baik ini perlu dikemas dengan cara baru yang terasa tidak merepotkan bagi semua pihak, tanpa mengurangi kemanfaatannya. 

Pemakaman malam itu hanya dihadiri putri almarhum dan suaminya, Pak Dukuh, Pak Kaum, warga kampung sebelah yang menggali makam dan seorang umat Katolik yang memimpin doa. Meski ada Pak Kaum yang biasa memimpin doa, karena yang meninggal beragama Katolik, maka yang memimpin adalah warga umat Katolik yang memang aktif di Gereja. 

Tadi malam banyak warga yang menunggu suara ambulan datang agar bisa memberi penghormatan terakhir meski dari jauh. Namun ternyata ambulan mematikan sirine, demikian pula toa masjid tidak memberi pengumuman, ternyata untuk alasan mencegah kerumunan dan secara psikologis tidak menambah kekhawatiran ditengah kenaikan jumlah warga yang positif covid. Warga hanya mendapat foto-foto prosesi pemakaman telah selesai dilakukan. 

Di hadapan kematian, dan banyak kematian di masa pandemi ini, tradisi budaya mempertemukan kemanusiaan, bahkan meski beda agama sekalipun. Di kampung kami, tidak ada pembedaan lokasi penguburan, karena semua jasad yang wafat akan terurai menjadi tanah. Dan arwah orang yang meninggal sudah tidak membutuhkan ruang lagi di dunia, terbebas dari sekat-sekat duniawi. Yang berbeda hanya amal perbuatan selama hidup di dunia, akankah dikenang atau dilupakan. Sedang nasib di akhirat hanya Allah, Gusti Pengeran  yang punya kewenangan.

Penulis: Listia

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sarinah Percayalah Engkau Tidak Sendiri

 Sarinah air matanya menggenang saat ia mengenang suami yang baru 100 hari meninggalkan untuk selamanya akibat kanker hati yang di deritanya. Ini adalah masa sulit Sarinah ia harus merawat dua anak lelaki hasil dari pernikahan. dari balik kaca spion tengah mobil Sarinah mengusap matanya dengan tisu sambil mengendong anak balitanya yanh sedang dipangkuan, sedang anak satunya lagi menikmati pemandangan dari samping kaca jendela. Hari ini adalah hari wisuda sebagai peserta hafalan Quran di sekolahnya. Sarinah semakin sedih saat anak pertamanya mau prosesi wisuda ia malah tiada padahal ini adalah cita-cita ayahnya ingin mempunyai anak yang mempunyai pendidikan agama yang mendalam. Kini dua anaknya yatim, Sarinah seorang diri merawat dan membesarkan kedua anaknya. Untung keluarga dari mendiang suaminya mendukung dan bertanggung jawab untuk tetap meninggali rumah orang tua mendiang suami bersama-sama anaknya.  Rasinah perempuan asal Medan, orang tuanya merantau ke Bogor dia sejak ke...

Tak Tahan Lagi Sarinah Ingin Mengakhiri

#2 Sarinah merasa hatinya tersayat-sayat saat mendengar cerita dari tetangga tentang dirinya, ia merasa kehadiran di rumah menjadi sumber masalah. Hatinya perih ia bertanya-tanya dalam lamunan, "kenapa mama tidak bilang langsung pada saya". Ia menyadari dialah bukan siapa-siapa pil pahit mau tidak mau harus di telan. Kata hatinya ia ingin memeluk mamahnya yang jauh di sana sambil menikmati tungku kayu bakar mengenang masa kecil di pojokan rumah panggung khas suku Melayu beratap seng karat yang bisa menghalau rasa dingin  juga beradaptasi dengan gempa. Selimut tebal mampu menyembunyikan rasa perih di depan anak-anak, sesekali ia menjelma tegar di depannya tapi hatinya begitu lemah dan pilu. Sarinah tak kuasa lagi bertahan di rumah mertua. Saat semuanya menjelma malaikat hati Sarinah begitu bahagia, kesedihan kehilangan suaminya sejenak menghilang, tapi saat mertuanya menjadi iblis rasa ingin keluar jauh-jauh dari rumah ini muncul kembali, yang membuat Sarinah bertahan hanyalah...