Tulisan ini diambil dari postingan Facebook Savic Ali, Redaksi ngalapberkah.net memuat ulang tulisan ini karena penting untuk dibaca banyak orang demi menyebarluasakan ilmu pengetahuan.
Publik sangat mengenal Gus Dur, tapi
sangat sedikit yang mengenal Gus Im. Padahal kakak-adik putra founding father
dan tokoh NU KH Wahid Hasyim bin Hasyim Asy’ari tersebut ibarat satu keping
mata uang di sisi yang berbeda. Dalam bahasa Gus Im sendiri, mereka adalah
Ikarus kembar.
--------------
Lahir di Jakarta 30 Oktober 1953,
enam bulan pasca ayahnya meninggal dalam kecelakaan mobil yang ia yakini
sebagai operasi intelijen, Gus Im yang bernama lengkap Hasyim Wahid adalah
sosok yang misterius. Ia sulit ditemui tapi datang sendiri saat waktunya tiba.
Ia menyukai buku-buku tapi juga menggilai keris dan senjata. Ia jago aljabar
dan matematika tapi juga menggeluti dunia klenik dan metafisika. Ia sangat
rasional dalam sebuah kesempatan tapi bisa konspiratif dalam kesempatan yang
berbeda. “Iim adalah adikku yang paling susah dimengerti,” kata Gus Dur suatu
kali.
Meski besar sebagai anak Menteng
dengan ayah mantan menteri dan kakek Rais Aam NU, Gus Im hobi keluyuran ke
tempat-tempat kaum underdog. Sejak SMP ia sering bermain ke Pasar Jatinegara,
sebuah kebiasaan yang ia lakukan hingga masa tuanya. Ia berteman dengan para
penjual batu akik serta preman-preman yang ada di sana. Ia selalu berpikir dan
bekerja agar dunia lebih terang tapi sangat menyukai–dan menertawakan–kisah-kisah
kriminal yang gelap. Ia menyukai novel-novel John le Carre dan “Darkness is my
ally” adalah salah satu kutipan yang sering ia tirukan, berasal dari film
Zatoichi: The Blind Swordsman.
Ia akrab dengan buku tetapi juga hobi
mengutak-utik sesuatu. Tak puas dengan karombol yang dibeli kakaknya, ia
membuat karombol sendiri yang lebih baik kualitasnya. Craftsmanship adalah
salah satu hobi dan keahliannya, yang masih terlihat hingga masa tuanya lewat
aktivitas membuat keris atau merestorasi pistol tua.
Seperti Gus Dur, Gus Im dikenal
cerdas oleh teman-teman dan saudaranya. “Ia bisa memecahkan soal aljabar dengan
rumusnya sendiri,” kata Amanda Damayanti, teman SMA-nya. Saat teman-teman
SMP-SMA-nya asyik dengan bacaan remaja ia sudah berkutat dengan memoar Gandhi
dan puisi-puisi Pablo Neruda. Namun ia tidak pernah menyelesaikan kuliahnya. Ia
pernah masuk jurusan Teknik Kimia ITB serta jurusan Psikologi dan Ekonomi UI,
tapi tiga-tiganya hanya dijalaninya sebentar saja. Tiap ditanya kenapa ia hanya
menjawab pendek, “Enggak cocok aja.”
Sebagai orang yang dua puluh tahun
lebih mengenalnya dan juga sebagai orang yang tidak berbakat kuliah, aku bisa
memahaminya. Gus Im adalah seorang defian, outlier, ikonoklas, subversif. Ia
pintar sekaligus punya mental pembangkang. Dalam sebuah puisinya ia menyebut
diri sebagai “penganggur terselubung dan pembangkang terbuka.” Ia tak bisa
dikungkung dan dibatasi oleh kotak-kotak sosial atau spesialisasi pengetahuan
yang diciptakan oleh tradisi modern.
Seperti Gus Dur, ia juga penikmat
musik di atas rata-rata. Jika Gus Dur lebih menyukai genre klasik—baru kemudian
blues, Gus Im lebih menyukai rock & blues—baru kemudian klasik. Ia
menggilai Jimi Hendrix setinggi langit dan tergila-gila dengan lirik “Permisi,
biarkan aku mencium langit” dalam Purple Haze. Di rumahnya terpampang foto
besar Jimi Hendrix dan saat peluncuran kumpulan puisinya, Bunglon, ada ritual
menyanyikan lagu Indonesia Raya via gitar tunggal yang tak lain terinspirasi
dari Jimi Hendrix saat membawakan lagu kebangsaan Amerika di Woodstock 1969.
Gus Im mengagumi para musisi generasi
flower generation seperti Jimi Hendrix, Janis Joplin, Bob Dylan dan Led
Zeppelin karena mewakili semangat perlawanan zaman–selain lirik-liriknya,
tetapi juga penikmat sejati musik metal dari masa yang belakangan seperti Guns
n Roses dan Metallica. Dalam sebuah kesempatan bersama Saleh Isre kami diajak
menonton Metallica Night di sebuah klub dan ia asyik bernyanyi sambil berdiri
dan menyalakan korek api. Sebelum Youtube–apalagi Spotify–mengemuka dan
covering musik bisa dinikmati sedemikian mudahnya, ia sudah mengoleksi seratus
lebih versi Knockin on Heaven’s Door yang dinyanyikan secara berbeda. Tentu
saja ilegal, dari dunia darkweb yang sering ia telusuri.
Aku beruntung termasuk orang yang
sering dibagi kopian koleksinya. Aku menonton DVD konser No Quarter Jimmy Page
dan Robert Plant darinya. Aku mengenal gitaris jazz fusion John McLaughlin juga
dari Gus Im. Belum lagi lagu-lagu Metallica yang aku juga menyukainya. Ia
memang royal dalam soal berbagi musik, film atau buku kepada teman-temannya. Ia
pernah membeli buku—terutama bahasa Inggris—hingga ratusan juta dan sebagian
dibagikan ke teman-temannya. Aku masih ingat terakhir kali diberi buku Oligarki
karya Jeffrey Winters.
Sudah sejak muda Gus Im menaruh
perhatian besar terhadap negara-bangsa Indonesia yang kemerdekaannya ikut
diperjuangkan oleh ayah dan kakeknya. Tak satu kesempatan pun pertemuan kami
yang luput membicarakan Indonesia. Ia akrab dengan anak-anak muda angkatan
80-an dan 90-an yang aktif dalam gerakan pro-demokrasi di era Orde Baru. Banyak
kawan yang pernah terlibat diskusi dengannya. Ia banyak hadir di forum-forum
dan komunitas aktivis mahasiswa. Ia sering muncul di YLBHI atau PIPHAM, dua
markas yang sering dijadikan tempat berkumpul aktivis-aktivis penentang Orba,
selain nongkrong di LKKNU, tempat berkumpulnya aktivis muda NU. Namun tidak
seperti Gus Dur yang kehadirannya selalu mengundang tatapan mata, kehadiran Gus
Im sering tak menarik perhatian.
Ia tidak suka tampil dan memilih
“berdiri di belakang” serta fokus dengan orang-orang yang ia anggap bisa diajak
bergerak bersama. Seperti talent scout sepakbola ia mendekati aktivis-aktivis
yang ia anggap satu frekuensi dan bisa memainkan peran dalam gerakan yang ia
bayangkan. Tidak seperti leader yang tampil dan memimpin di depan, ia lebih
seperti guru yang tut wuri handayani dan kawan yang ing madya mbangun karso. Ia
adalah kawan, kakak dan guru bagi banyak aktivis pergerakan angkatan 80-an dan
90-an. Ia akrab dengan aktivis-aktivis Front Aksi Mahasiswa Indonesia (FAMI)
yang ditangkap dan dipenjarakan Orba karena menuntut Presiden Soeharto mundur
1993, dan ia ada di tengah-tengah massa saat terjadi demo menentang penyerangan
kantor PDIP 27 Juli 1996.
Pengetahuannya tentang geopolitik
yang luas menjadi sumbangan penting bagi perspektif internasional kami semua.
Dan semua disampaikan tidak dalam cara yang menggurui dan superior, melainkan
dalam mode brainstorming dan diskusi dialektik yang sangat egaliter. Dalam soal
metode, Gus Im bisa dibilang seorang sokratik, yang alih-alih menyampaikan
gagasan lewat presentasi panjang ia memilih pendekatan brainstorming dan dialog
mendalam lewat beragam pertanyaan.
Karena lebih banyak menyampaikan
gagasan lewat dialog langsung yang tidak direkam, maka pengetahuan dan
pandangan-pandangannya hanya dinikmati oleh mereka yang mengenalnya secara
langsung. Satu-satunya buku yang boleh dibilang mencerminkan pandangannya
terkait geopolitik adalah buku kecil berjudul Telikungan Kapitalisme Global
yang ditebitkan oleh LKiS tahun 1999, yang menurutnya perlu diupdate sesuai
perkembangan terkini. Saat muda ia—bersama Gus Dur—juga menerjemahkan karya
Sayd Hussein Nasr, Islam: Dalam Cita dan Fakta. Jika Gus Dur banyak terpengaruh
oleh JM. Romein dalam melihat trajectory sejarah Gus Im cara pandangnya lebih
banyak dipengaruhi Immanuel Wallerstein. Ia membaca seluruh buku Wallerstein
tentang modern world-system dengan sangat teliti, dan Gus Im memang pembaca
buku yg tekun dan teliti. Ia bisa begadang sampai jam 2 karena membaca
buku—bahkan saat tubuhnya mulai melemah karena sakit yang ia derita.
Kecuali keterlibatan dalam
penerjemahan karya Hussein Nasr, Gus Im memang tidak banyak berbicara tentang
keislaman seperti Gus Dur, dan hidupnya tidak bisa dibilang islami dalam arti
konvensional. Namun seperti Gus Dur, pandangan hidupnya banyak dipengaruhi
tradisi Qur’ani. Ia banyak memaknai dunia lewat insight-insight yang
dikemukakan ayat-ayat Qur’an. Ia mencintai para sufi, dan sempat menuliskan
puisi untuk Al-Hallaj, sufi yang dihukum mati karena keyakinannya dianggap
sesat.
Ia menyukai dan mengagumi orang-orang
yang berani melawan dan mengambil jalan berbeda. Hidup yang ia pilih–dan juga
Gus Dur tempuh–pada dasarnya mewakili semangat itu: perlawanan terhadap rezim
yang dominan, baik rezim politik, ekonomi, sosial maupun pemikiran. Meski harus
ia akui ia sering kalah dalam pertarungan itu. Dalam puisinya Interogasi 1982
ia bercerita bagaimana ia ditangkap dan diinterogasi tentara Orba. Ia juga
sering bercerita bagaimana bisnisnya selalu dibunuh oleh kroni Cendana saat
belum berbunga. Dan yang paling tragis saat ia menyaksikan kakak yang
dikasihinya—meski sering bikin ia jengkel, Abdurrahman Wahid, dijatuhkan dari
kursi kepresiden dengan tuduhan yang menyakitkan: terlibat korupsi.
Dari semua perjalanan hidupnya, juga
tafsir atas perjalanan ayahnya (meninggal kecelakaan) dan ibundanya (sakit
panjang juga akibat kecelakaan), ia sering memaknai dirinya sebagai
representasi kekuatan yang berusaha melawan tapi harus diakui berakhir dengan
kekalahan. Meski tidak pernah mengutip kalimat “Kita sudah melawan, Nak, Nyo,
sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya." yang diucapkan Nyai Ontosoroh dalam
novel Pramoedya Bumi Manusia, tetapi aku sangat merasakan nada itu dalam banyak
ceritanya. Puisi Tentang Sisyphus dan Ikarus Kembar adalah gambaran Gus Im
terkait dirinya dan Gus Dur, yang selalu berusaha berjuang tapi harus dengan
pahit menyaksikan apa yang diperjuangkannya selalu menggelinding lagi ke bawah
dan menyadari kenyataan yang harus dihadapi bahwa jika mereka terbang terlalu
tinggi maka lilin yang mengikat sayap-sayap mereka akan meleleh dan mereka pun
jatuh ke bumi.
Ada terlalu banyak hal yang bisa
diceritakan–dan juga tak bisa diceritakan, tapi Gus Im sosok eksentrik yang
sulit dicari padanannya di kalangan nahdliyin. Ia seorang Gus tapi dengan
lantang menyebut dirinya korak (preman). Tapi di luar penampilannya yang urakan
dan gaya komunikasinya yang tak jarang memang seperti preman, Gus Im menyimpan
kelembutan dan hatinya selalu untuk mereka yang disingkirkan dan dikorbankan.
Buku kumpulan puisinya, Bunglon, sarat kritik sosial dan solidaritas atas
orang-orang tertindas serta orang-orang yang bangkit melawan. Ia tidak suka
tirani dan hegemoni. Hidupnya praktis dihabiskan untuk menentang tirani (Orde
Baru) dan hegemoni (Amerika), bahkan olah spiritual dan kegiatan metafisiknya
diarahkan ke sana. Melebihi Gus Dur, ia bisa berminggu-minggu menjelajahi
makam-makam atau tempat keramat di Jawa, untuk berdzikir atau menebar rajah,
demi keruntuhan Orde Baru atau keselamatan Indonesia. Salah satu kamar rumahnya
dipenuhi beragam keris dan serakan kertas bertuliskan huruf Arab yang tak lain
adalah rajah dan doa-doa. Tidak masuk akal sepertinya, tapi di situlah keunikan
Gus Im. Ia tak ubahnya manusia multi-dimensional yang tak mudah diidentifikasi
dalam ragam identitas yang kita kenal.
Sabtu, 1 Agustus 2020, Gus Im telah
pergi meninggalkan kita. Ia menyusul kakak yang sekaligus ia anggap sebagai
ayahnya, Abdurrahman Wahid. Bukan hanya kaum nahdliyin yang kehilangan, tetapi
juga komunitas pergerakan. Hari ini adalah haul pertama atas kematiannya, mari
sejenak mendoakan arwahnya. Alfatihah! []
Komentar
Posting Komentar